Kesempatan yang Mengubah Nasibku

 

Sebelum kuceritakan pengalamanku, aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Nurul Sya’ban. Biasa dipanggil Sya’ban. Kalian tentu tahu alasannya kenapa namaku sama dengan nama salah satu bulan di kalender hijriah. Tak lain, karena aku memang lahir di Bulan Sya’ban. Tepatnya 7 hari sebelum Bulan Ramadan. Sekarang, aku menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur.

Kisah yang akan kuceritakan ini adalah tentang “sebuah kesempatan” yang telah mengubah nasib dan keluargaku menjadi lebih baik. Semoga kisah ini dapat menginspirasi sobat sekalian. Aamiin….

***

Aku adalah anak dari seorang petani kecil. Keluargaku hidup dengan sederhana. Aku tidak pernah tahu tentang kehidupan kota yang katanya penuh dengan kemewahan, sebab aku hanya anak desa yang selalu menikmati hari-hari di pematang sawah yang luas. Jangankan ingin hidup mewah, untuk makan sehari-hari pun kadang hanya dengan ubi kayu ditambah garam. Namun, aku tak pernah mengeluh. Karena kuyakin Allah selalu bersama hambaNya yang selalu bersyukur atas nikmatNya.

Semua kehidupanku berjalan normal. Sampai aku kelas 6 SD, aku ditimpa cobaan yang membuat dilema. Saat itu, aku sudah hampir mendekati hari pengumuman kelulusan. Namun, aku bingung memikirkan nasibku kedepannya. Bisakah aku melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya? sedangkan kondisi perekonomian keluargaku saat itu sedang kritis?

Sawah Ayahku gagal panen, sehingga Ayah memiliki utang bertumpuk karena tidak bisa melunasi modal pinjamannya. Sementara itu, penghasilan ibuku sebagai pembantu rumah tangga pun pas-pasan. Aku gelisah memikirkan itu semua. Haruskah aku nekat melanjutkan sekolah dengan kondisi ekonomi yang sedang tercekik? ataukah aku harus rela melepas cita-citaku dan mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga?

Aku sangat bingung. Kuputuskan untuk meminta petunjuk pada Sang Maha Pemberi Petunjuk. Kugelar sajadah panjangku. Kulaksanakan sholat istikharah untuk meminta petunjuk pada Allah. Kuluapkan seluruh masalahku dalam setiap sujudku. Aku larut dalam hening malam. Tanpa kusadari air mataku meleleh membasahi pipi. Dengan suara lirih, kutengadahkan kedua tanganku seraya berdoa,

Ya Allah sesungguhnya hamba adalah milikmu. Dan hanya kepada-Mu lah hamba memohon belas kasih. Engkau maha tahu apa yang terbaik untuk hambamu. Dan hanya kepadamulah hamba meminta petunjuk.Ya Allah jika seandainya putus sekolah adalah jalan yang terbaik untuk hamba, maka hamba ikhlas menerimanya dengan lapang dada. Namun jika engkau mengizinkan hamba untuk menimba ilmu-Mu,  maka bukalah jalan untuk hamba agar bisa melanjutkan sekolah. Dengan rahmat-Mu Ya Allah. Berilah hamba jawabanmu yang terbaik. Aamiin….

***

Hari kelulusanku pun tiba. Alhamdulillah aku lulus dengan nilai yang sangat baik. Bisa kalian bayangkan, seorang anak petani miskin meraih nilai tertinggi UN se-kabupaten. Aku sangat senang sekaligus bangga dengan hasil belajarku. Tak sedikit dari teman-teman dan guru-guruku yang memberikan ucapan selamat atas prestasiku. Sejenak aku bisa merasakan kebahagiaan itu.

Namun, kebahagiaan itu hanyalah sirna tatkala bayangan putus sekolah menghampiriku. Bayangan yang akan memutus ikatan antara aku dan impianku. Aku kesal pada diriku sendiri karena tak mampu berbuat apa-apa. Aku pasrah. Aku ikhlas menerima kenyataan pahit bahwa aku harus putus sekolah.

***

Setahun sudah aku putus sekolah. Sekarang aku bekerja menjadi kuli bangunan, yang sehari-harinya sudah terbiasa mengangkut berkarung-karung semen dan pasir. Jangan Tanya tentang betapa beratnya pekerjaan yang kujalani. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa dikerjakan oleh anak kecil yang belum genap 14 tahun usianya.

Sebenarnya dulu ayah menyuruhku untuk lanjut sekolah. Namun, aku menolaknya. Aku lebih memilih ikut menjadi tulang punggung keluarga, sebab melihat kondisi ayahku yang sering sakit-sakitan. Aku tidak tega membuat ayah dan ibuku menderita. Membuat mereka harus banting tulang membiayai sekolahku dan juga biaya hidup keluarga kami.

***

Suatu ketika, saat aku sedang bekerja, aku dipanggil. Katanya ada orang yang mencariku.

“Apa benar nama adik, Nurul Sya’ban?” katanya dengan nada lembut, tapi tidak menghilangkan ketegasannya.

“Iya benar, memang ada apa ya, Pak?”

“Jadi kami ini dari Yayasan Nurul Islam. Kami dengar, adik ini siswa yang cerdas. Namun, adik berhenti sekolah karena keterbatasan biaya. Jadi, tujuan kami kemari ingin menawarkan beasiswa untuk adik agar adik bisa bersekolah di yayasan kami.”

Aku terkejut mendengar ucapan bapak tersebut, sekaligus sangat bahagia karena aku bisa bersekolah lagi. Aku berkata dalam hati, “Mungkin ini adalah jawabanmu, Ya Allah atas doa-doaku selama ini.” Lantas aku bertanya kembali.

“Bapak serius?”

“Iya, tapi adik nanti harus menetap di asrama. Bagaimana? Mau, tidak?”

InsyaAllah saya mau, Pak. Namun, saya harus minta izin dari orang tua saya terlebih dahulu.”

“Oke kalo begitu, nanti malam adik bicarakan baik-baik sama orang tua adik. Lalu, kalau adik sudah diizinkan, adik tinggal telepon ke nomor ini!” Sambil menyodorkan secarik kertas berisi nomor hp-nya.

InsyaAllah  jika diizinkan, adik akan kami jemput besok.”

“Kalau begitu kami pamit dulu ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku sigap.

Bagaikan mendapat angin segar. Berita ini langsung kukabarkan kepada Ayah dan Ibuku. Dan, alhamdulillah, mereka juga merestuiku. Ini adalah “kesempatan emas bagiku.” Tidak akan kusia-siakan kesempatan ini. Aku bersyukur, semoga ini menjadi awal yang baik untukku kedepannya. Terima kasih, Ya Allah, engkau telah membuka jalanmu untukku.

***

Keesokan harinya, setelah aku menghubungi pihak yayasan, aku dijemput oleh utusan yayasan. Aku pun izin pamit pada Ayah dan Ibuku. Kucium tangan mereka, lalu mereka berdua memelukku dengan erat. Kurasakan hangatnya dekapan kasih sayang mereka berdua. Suasana penuh haru.

“Nak, jaga dirimu baik-baik, ya. Hormati gurumu dan jangan lupa jaga sholat. Doa kami selalu mengiringimu, Nak!” pesan Ayah.

“Iya, Yah. Sya’ban akan selalu ingat pesan-pesan Ayah. Sya’ban akan lakukan yang terbaik. Assalamu’alaikum Ayah, Ibu.” Sambil kulambaikan tanganku.

***

2 minggu pertama di asrama adalah saat-saat yang cukup berat bagiku. Bukan hanya diriku saja, teman-temanku juga kurasa mengalami hal yang sama denganku. Perasaan rindu yang sangat luar biasa. Rindu pada rumah, teman, dan yang terberat adalah rindu pada kedua orang tua. Namun, semua rasa rindu itu kutepis jauh-jauh.  Aku tidak ingin perasaan itu mengganggu prosesku dalam menimba ilmu.

Di sini, aku belajar dengan sangat tekun. Terkadang aku sampai lupa waktu untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku sudah biasa tidur di atas jam 12 malam, lalu bangun jam 3 pagi untuk melaksanakan qiyamul lail. Selebihnya, kugunakan waktuku untuk belajar ditambah dengan menghapal ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Pernah suatu kali aku jatuh sakit selama 5 hari. Mungkin itu karena tubuhku terlalu kupaksakan untuk belajar, hingga aku melupakan kesehatan tubuhku sendiri. Ayah dan Ibuku langsung menjengukku setelah mendapat kabar dari pengurus yayasan. Mereka sangat khawatir pada kondisiku. Bahkan, mereka rela tidak tidur hanya untuk menjagaku 24 jam demi memastikan bahwa kondisiku baik-baik saja.

Setelah 5 hari aku dirawat di puskesmas. Akhirnya aku diizinkan pulang. Aku diantar balik ke asrama oleh Ayahku. Ayah berpesan supaya aku tidak terlalu ngotot dalam belajar, “Rajin belajar itu tidak salah, Nak. Namun, perhatikan juga kondisi tubuhmu. Meskipun keinginan belajarmu kuat tapi kamu sakit-sakitan kan percuma juga. Aturlah waktu belajar dan waktu istirahatmu dengan baik, Nak!” Begitu pesan Ayah padaku.

Setelah mendengar pesan Ayah, aku mulai mengatur jadwal aktivitasku di asrama. Dan alhasil, kegiatan belajarku di asrama terasa menyenangkan karena berjalan dengan teratur.

***

3 tahun sudah aku menempuh pendidikan SMP di Yayasan Nurul Islam. Sekarang aku sudah berhasil menghapal 30 juz Al-Qur’an. Aku juga berhasil menorehkan prestasi-prestasi dalam berbagai ajang perlombaan. Berkat prestasiku, aku berhasil diterima di salah satu SMA negeri lalu melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi hingga S-3 dengan beasiswa penuh.

Setelah lulus dari perguruan tinggi, aku diangkat menjadi Dosen Pendidikan Agama Islam. Kini kehidupan keluargaku sudah jauh lebih baik dari kehidupan kami yang dulu. Rumah kami yang reyot, kini sudah berubah menjadi bangunan yang indah dengan halaman depan yang banyak ditanami beragam jenis bunga. Kalau dulu kami bepergian hanya dengan menumpang angkot, kini kami bepergian dengan mobil pribadi ditemani sopir kami yang bernama Pak Usman. Tahun kemarin juga, kami sekeluarga bersama-sama menunaikan ibadah haji.

Semua ini berkat kesempatan yang telah Allah berikan kepadaku. Sebuah kesempatan yang membuatku bisa bersekolah kembali hingga aku bisa mengubah nasib keluargaku menjadi lebih baik.

Aku belajar banyak dari perjalanan hidupku terutama tentang menghargai sebuah kesempatan.

Kesempatan adalah hal yang takkan pernah datang dua kali seumur hidup. Belajarlah menghargai kesempatan yang kecil, sebab kesempatan kecil adalah awal dari sebuah kesempatan yang besar. Jangan lupa bersyukur pada Ilahi, sebab Dia-lah Sang Pemberi Kesempatan.

 

Moh. Nur Hamzah

Kraksaan, 29 April 2019

 

Pemenang juara 2 dalam lomba menulis cerpen tingkat SMA/MA/SMK se-Kab. Probolinggo (FLP Probolinggo) 2019.

Menu