Tahlil

Mendadak pukul Sembilan pagi ini langit memasang wajah masam. Burung-burung banyak sekali berterbangan mencari tempat yang paling aman untuk mereka berteduh. Padahal tadi pagi prediksi cuaca menafsir bahwa siang hari ini tidak akan terjadi hujan, cuaca akan cerah satu hari penuh. Mengapa saat ini perkiraan cuaca itu meleset sangat jauh?

“Kuasa Tuhan tidak bisa diduga-duga ya, Pa?” Anakku yang masih duduk di bangku SMP itu berpendapat.

“Memang, manusia hanya bisa berusaha tapi titik akhir yang menentukan hanyalah Sang Maha Kuasa,” nasihatku kepada Arka.

Arka Zainuddin lengkapnya, anakku satu-satunya itu sangat menyukai film horror. Tadi malam saja,

“Pa, temenin Arka nonton Perempuan Tanah Jahannam, ya,” seorang aku, pemilik sifat yang notabene adalah penakut hanya dapat menganggukkan kepala seraya menelan ludah.

“Iya nanti Papa temenin sampai tuntas…tas…tas!” Kataku berlagak sombong.

“Lah, bukannya Papa orangnya penakut?”

“Dulu sih iya, sekarang udah nggak, hehe,”

“Hahaha, Papa ada-ada saja,” anak itu berlalu

“Eh, tunggu!”

“kenapa, Pa?” tanyanya penasaran.

“Besok hari apa?” Aku balik bertanya memastikan hari besok, kalau besok hari bilamana anak itu harus bersekolah, aku memiliki alasan untuk melarang Arka untuk menonton film itu.

“Hari Minggu, memangnya kenapa, Pa?”

“Oh nggak, gak ada apa-apa” fyuh….

***

“Pak Zain, pukul Sembilan tadi Pak Winto meninggal dunia, ayo pak ke sana soalnya warga yang datang hanya sedikit sekitar sepuluh orang, kebanyakan hanya dari kerabat dekatnya saja,” ujar bapak paruh baya itu dengan suara yang terdengar tergesa-gesa.

“Innalillahi wa innalillahi raji’un, mari pak,” ucapku spontan sebab terkejut mendengar berita itu.

“Arka! Papa keluar dulu ya,” teriakku pada Arka yang sedang ada di dalam rumah.

“Iya Pa, hati-hati,”

Wajar jika saat Pak Winto meninggal tidak banyak orang yang datang. Karena ia adalah satu-satunya warga desa ini yang memiliki ilmu hitam yang sering mencelakakan orang lain. Banyak warga yang menakuti sosok Winto tersebut, bahkan warga sempat melaporkannya ke pihak polisi setempat, dan pihak polisi pun merasa kuwalahan sebab sebelum mereka bertindak, usut punya usut Pak Winto pun langsung membuat perut mereka tiba-tiba mulas, sehingga mereka banyak yang ke kamar mandi, sedangkan kamar mandi disana terbatas dan tiada jalan lain selain diantara mereka ada yang langsung membuang ‘sampah’ mereka langsung di celananya. Polisi itu tidak menyerah begitu saja, keesokan harinya mereka menuju kediaman Pak Winto yang memang berbau mistis, sebelum mereka sampai ke tujuan. Di sepanjang jalan mereka diganggu oleh bisikan-bisikan aneh, karena merasa terganggu sekaligus merinding, mereka memilih untuk memutar balik kendaraannya.

Hingga sebelum Pak Winto meninggal banyak warga yang merasa gelisah dan resah, satu-satunya cara yang mereka lakukan tiada lain kalau bukan hanya pasrah dan tidak berbuat macam-macam pada Pak Winto.

Di jalan aku mendapati Bu Matil yang mencegah aku untuk membantu pemakaman Pak Winto.

“Pak Zain mau kemana?” Tanya Bu Matil.

“Eh, Bu Matil. Ini Bu saya mau ke rumahnya Pak Winto…,” sebelum kalimatku utuh ia langsung memotongnya.

“Lebih baik jangan deh, Pak. Mana ada orang yang gak baik ditolong,” katanya membara.

“Astaghfirullah Bu, kalau ada orang yang terkena musibah itu sebaiknya ditolong bukan malah ditinggal, lagi pula Pak Winto sekarang sudah tiada. Bagaimana kalau nanti saya tidak membantu penguburan beliau terus beliaunya marah dan mengganggu saya? Kan ngeri jadinya,” ujarku pada Bu Matil sedikit mengingatkan sebagai umat manusia yang sepatutnya saling tolong-menolong.

“Iya deh pak kalau gitu, ngomong- ngomong Bu Novi kemana, kok gak ikut?” celotehnya sambal menanyakan keberadaan istriku.

“Istriku lagi keluar kota, ada rapat proyek selama satu pekan,” jawabku

“Ooo, duluan deh Pak, bentar lagi saya nyusul sambal ngajak Bu Lidia,” serunya sembari berlalu.

***

Almarhum Pak Winto sedang berada di atas dipan bambu yang telah disiapkan oleh kerabat-kerabatnya, Pak Winto terbaring kaku, saat ini adalah sesi pemandian jenazah. Terdengar bau anyir yang warga kira bau itu berasal dari tubuh Pak Winto.

“Bu harap jangan menekan hidung, takut membuat perasaan keluarga Pak Winto tidak nyaman, tahan saja, meski saya juga merasakan bau itu,” bisikku kepada ibu-ibu itu.

“hehe, iya Pak,” respon mereka.

Setelah segala proses pemakaman usai, Pak Kyai Haris memerintahkan warga untuk hadir dalam tahlil yang dilaksanakan setiap malam seusai salat Magrib selama satu Minggu.

Malam harinya.

Malam ini sangat dingin para jamaah tahlil berdatangan. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti mereka membicarakan urusan masing-masing. Ada yang membicarakan hasil penjualan pisang, ada yang membicarakan tentang sengketa tanah, juga ada yang berbicara tentang masa depan; tentang jodoh. Baru malam pertama, jamaah tahlil dihebohkan dengan penampakan seram pocong yang mirip seperti pohon pisang, mulanya salah satu jamaah sedang nongkrong di luar dengan ditemani oleh sebatang rokok yang ia selipkan di sela-sela jari, kata orang itu ia pertamanya melihat sosok aneh tak ia hiraukan sebab pada awalnya dia kira sosok itu sebagai pohon pisang, dan lama-lama ia penasaran juga dan menghampirinya. Niatnya berhasil dan menghasilkan dirinya tunggang-langgang menghampiri jamaah tahlil yang lain. Dan selepas tahlil di saat berjalan bersama ia paling heboh bercerita tentang penampakan pocong itu.

“Iya, saya ngelihat langsung dengan mata saya sendiri, ini nyata loh, untung tak saya foto kalau saya foto paling bapak-bapak sekalian langsung percaya ke saya,” serbu orang itu dengan kata-katanya yang menerjang bak air bah.

“Huh jangan cerita kayak gitu pak, saya jadi perinding nih,” tukas orang di sebelahnya.

“Bapak percaya, kan?” tanya orang itu penasaran.

“Saya bakal percaya kalau besok-besok ada kejadian itu lagi, hahaha.” Lah bapak itu malah ketawa menganggap hal itu main-main, aku hanya mendengarkan cerita itu karena aku tak mungkin meninggalkan mereka, kalau aku meninggalkan mereka yang jalannya bersama-sama, aku akan sendiri. Di perjalanan pulang mereka masih saja membicarakan penampakan itu, aku pasang telinga tuli dan nyatanya tak berhasil, kuanggap saja itu sebagai dongeng, biar aku tidak takut. Sesampinya di rumah, kudapati Arka telah terlelap di depan televisi. Kuangkat tubuh anak itu dan membawanya masuk ke kamarnya. Dengan adanya rumor tadi aku tidur bersama Arka, karena aku benar terbawa dengan cerita yang bapa-bapak tadi bicarakan.

“Eh, Papa kok tidur di sini? Bangun Pa, sudah subuh,” seusai salat subuh, aku langsung menceritakan sebab-sebab aku tidur di samping Arka, soalnya dari dulu anak itu memilih untuk hidup mandiri, jadi tak ayal jika ia kaget bila aku menemaninya tidur yang lebih tepat dia yang menemaniku.

***

Pada malam-malam berikutnya terjadi penampakan yang lebih menyeramkan lagi salah satunya, sesuatu benda sekitar enam kali menimpa atap rumah mendiang Pak Winto yang menghasilkan bunyi yang sangat nyaring sebab atap rumah itu terbuat dari seng. Tidak hanya pada acara tahlil. Banyak warga yang melaporkan bahwa di rumahnya terdapat kejadian-kejadian aneh dan menyeramkan.

`           “Rumah saya bu tadi malam seperti ada yang menggoyang-goyangkan saya rasa itu gempa, saya nanya ke tetangga kalau tadi malam itu gempa atau bukan, ternyata tetangga saya itu tidak merasakan apa-apa. Dan saya yakin tadi malam saya habis di ganggu sama arwah Pak Winto,”

“Ibu cuma di gituin, lima hari yang lalu selepas pemakaman, lemari makan saya kocar-kacir padahal, lemari itu saya kunci tak mungkin kan saya menuduh si Blacky?” Tuduh ibu itu kepada mendiang Pak Winto.

“Sudah bu, jangan bergibah, tidak baik,” saran wanita berjillbab itu.

Warga tambah merasa resah dengan rumor yang beredar. Akhirnya istriku datang dan aku tak takut lagi.

“Kamu Mas, kayak gituan takut”

Hanya kemarin siang istriku itu berujar seperti itu. Malamnya kami sekeluarga diteror habis-habisan. Arghhhhh.

Risal Jailani

Probolinggo, 23 April 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

Menu